Laksanakan Reforma Agraria Sejati
2013-07-31 | Dikunjungi: 1579 Kali
Istilah Reforma Agraria mungkin bukan sesuatu yang baru bagi kita, sudah
banyak pakar yang menjelaskan maksud dan tujuan dari reforma agraria,
baik melalui tulisan yang tertuang dalam buku, makalah seminar dan dalam
diskusi-diskusi yang penah dilakukan baik dilevel
kampus sampai pada level seminar nasional.
Reforma Agraria kemudian dijadikan kunci penyelesaian dari sekian banyak
masalah agraria di Indonesia. Pelaksanaan reforma agraria yang kemudian
kita maksud adalah tetap bersandar pada UUPA tahun 1960. Sebab sebagai
sebuah undang-undang, UUPA 1960 mampu dijadikan
landasan hukum dan politik bagi diaturnya hubungan antara kaum tani dengan alat produksinya.
Politik agraria UUPA 1960 berakar pada kesadaran atas realitas
sosio-politik dan sosio-ekonomi rakyat yang terbelenggu dalam
ketidakadilan struktural warisan kolonialisme/feodalisme berabad-abad
lamanya. Oleh karena itu, jiwa dan semangat UUPA 1960 sangat tegas,
yaituingin menjebol ketidakadilan struktural dalam rangka menyiapkan
prakondisi sosial untuk membangun kehidupan masyarakat Indonesia yang
adil dan makmur.Dalam UU PA 1960 juga ditegaskan bahwa ruang lingkup
agraria meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya, atau yang lebih dikenal dengan akronim BARAKA.
Pada perjalannya, memang pelaksanaan UU PA 1960 menjadi tidak pernah
bisa dilaksanakan di negeri ini. Seperti yang pernah kita jelaskan dalam
edaran-edaran yang lalu bahwa peristiwa
politik yang berujung pada proses pergantian rezim penguasa negeri ini,
sangat mempengaruhi akan pelaksanaan UU PA 1960 itu sendiri. Situasi
yang mungkin sangat kita rasakan khususnya adalah situasi pasca
reformasi. Tumbangnya orde baru pada tahun 1998, yang kemudian dikenal
sebagai reformasi, hanya menghasilkan rezim-rezim baru yang sedikitpun
tidakmampu menjadi garda depan perubahan bagi kaum tanidan rakyat
Indonesia. Dari pemilu ke pemilu pasca reformasi, hanya mendudukan
kepemimpinan bangsa ini pada rezim yang sangat kapitalistik.
Bukan hanya bertindak sebagai komperador, tetapi juga telah menjadikan
nasib kaum tani semakin masuk kedalam jurang kemiskinan. Sekian banyak
produk hukum (undang-undang dan ketetapan) yang kemudian dihasilkan pada
periode pasca reformasi seperti, Tap MPR Nomer IX Tahun 1999 tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, yang
merekomendasikan perubahan produk-produk hukum agraria yang bertentangan
dengan reforma agaria, serta Undang-Undang Nomer 7 Tahun 2004 tentang
Pengelolaan Sumber Daya Air, Undang-Undang Nomer 24 Tahun 2004 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomer 1 Tahun
2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomer 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan menjadi Undang-Undang, dan Undang-Undang Nomer 18 Tahun 2004
tentang Perkebunan, dan Perpu Nomer I Tahun 2001 yang memberikan izin
menambang di hutan lindung, Undang-undang Penanaman Modal, UU Minerba,
UU Konservasi Sumber Daya Alam, UU Perlindungan Lahan Pertanian
Berkelanjutan, UU Sistem Budidaya Tanaman, UU Perlindungan Varietas
Tanaman, UU Perikanan, dan UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulaukecil-yang kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi-yang
terakhir diundangkan atau disahkan oleh pemimpin negeri ini adalah UU
Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum.
Semua produk hukum tersebut justru sangat bertentangan dengan semangat
subtansi dari UUPA 1960 dan konstitusi dasar negara Republik Indonesia.
Pada dasarnya memang pelaksanaan
reforma agraria harus dilakukan dengan penguasaan atas sumber produksi.
Artinya bagaimanapun juga tanah sebagai sumber dari segala-segala
produksi yang dapat dikelolah dan diperuntukan sebesar-besarnya demi
kepentingan rakyat. Disinilah pentingnya fungsi tanah. Tanahsangat
berharga bagi manusia, karena lewat tanah lah manusia hidup. Selain itu
tanah merupakan tempat tinggal hingga sumber makanan. Setiap masyarakat
mempunyai mekanisme sendiri dalam memperlakukantanah, baik masalah
pendistribusian dan kepemilikannya.
Pentingnya tanah, bisa terlihat pada adagium Jawa berbunyi "sadumuk
bathuk sanyari bumi, ditohi tekaning pati" (seraut wajah dan sejengkal
tanah, dipertahankan sampai mati). Hal ini juga berlaku pada masyarakat
adat yang masih mempertahankan tanah ulayatnya. Mungkin dari
masing-masing masyarakat adat di indonesia keberadaan tanah adat dapat
di presepsikan berbeda-beda, tetapi secara umum tanah bagi masyarakat
adat mempunyai fungsi sosial, teologis, ekonomis juga politik, artinya
tanah merupakan bagian yang paling besar dalam sejarah hidup manusia.,
khususnya masyarakat adat.
Disinilah kemudian kita juga menegaskan bahwa pelaksanaan reforma
agraria sejati harus dimulai dengan penguasaan tanah sebagai alat
produksi utama. Sebab tanah (dengan segala isi di dalamnya), menjadi
komoditi penting yang harus dikembalikan ke tangan rakyat Indonesia.
Dalam posisi ini tanah adalah modal kehidupan. Sehingga agar ia efektif,
maka harus didasarkan kepada empat prinsip berikut: (i) pertanahan
harus berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat; (ii) pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk
meningkatkan tatanan hidup berkeadilan; (iii) pertanahan harus
berkontribusi secara nyata untuk menjamin keberlanjutan sistem
kemasyarakatan, dan kebangsaan Indonesia; dan (iv) pertanahan harus
berkontribusi secara nyata untuk menata kehidupan yang harmonis dan
mengatasi berbagai konflik sosial.
Selain dari pada itu, kita juga ingin menegaskan bahwa reforma agraria
sejati-seperti yang tertuang dalam UU PA 1960-jangan juga hanya sebatas
penguasaan kembali lahan/tanah (land reform) yang sudah atau belum
dirampas oleh pemilik modal. Sebab reforma agraria sejati harus
meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya, jadi secara nyata reforma agraria bukan semata-mata land
reform atau penguasaan lahan/tanah saja, sebab lebih dari pada itu
reforma agraria harus menjawab realita tatanan produksi yang timpang
pada proses ekonomi rakyat.
Dalam hal ini reforma agraria harus bisa menjawab pra
produksi-produksi-pasca produksi (distribusi)-konsumsi dalam rangkaian
ekonomi rakyat. Dengan ini dapat disimpulkan, bahwa keniscayaan atas
perjuangan reforma agraria sama saja bermakna konsolidasi nasional
demokrasi kerakyatan. Dimana proletarisasi negara bangsa serta
marjinalisasi dan penghisapan sumber-sumber agrarian republic ini sudah
harus disingkirkan dan menegaskan kembali kemerdekaan nasional kedua,
dimana kedaulatan negara diukur dari kedaulatan warga negaranya terhadap
tanah, air, udara dan seluruh kekayaan yang dikandung oleh ibu pertiwi
ini.
(oleh : Ferry Widodo Ketua Umum Nasional FPPI Pimpinan Nasional)